Senin, 16 Januari 2023

Menghadapi Digimodernisme dengan 3 Mong: Sebuah Jurnal Refleksi Calon Guru Pascapandemi

 Pandemi covid-19, secara tidak sengaja memaksa manusia—juga  peserta didik—memasuki era digimodernisme. Pandangan era digimodernisme—segala hal yang ada di dunia nyata—telah diakui kehadirannya secara digital karena pengaruh kemajuan teknologi. Tak terkecuali pendidikan di Indonesia perlu beradaptasi pada pandemi covid ini, yaitu terselenggaranya kelas-kelas digital di daerah-daerah yang sudah terpenuhi sarana-prasarananya. 

Fenomena ini membuktikan bahwa pernyataan Ki Hajar Dewantara benar adanya, yaitu pendidikan perlu mengikuti kodrat alam dan zaman. Kodrat alam, ruang dan waktu saat pandemi tidak memungkinkan untuk sesama manusia bersinggungan secara langsung. Kodrat zaman, untuk menjawab ruang dan waktu yang terbatas tersebut teknologi komunikasi memenuhi kebutuhan—untuk bersemuka secara maya melalui platform digital; seperti zoom, googlemeet dan googleclassroom.

Bergeliatnya kegiatan digital dalam dunia pendidikan secara komprehensif; muncullah kekhawatiran akan terkikisnya proses penanaman nilai-nilai kemanusia di dunia pendidikan. Untuk menjawab tantangan tersebut, saya mengadaptasi pemikiran KI Hajar Dewantara—yang dikenal secara internasional dengan istilah 3mong (three mong)—momong, among dan ngemong. Momong yang diterjemahkan dari bahasa Jawa adalah merawat dengan tulus. Guru hendaknya mendidik peserta didiknya dengan ketulusan dan welas asih. Dengan begitu, peserta didik terasah nuraninya dengan hal-hal yang bersifat baik, yaitu ketulusan dan welas asih. Among yang diterjemahkan dari bahasa Jawa adalah memberi contoh. Guru hendaknya senantiasa memberi contoh perilaku welas asih. Mong yang terakhir ini adalah mong yang melengkapi kedua mong yang lain, yaitu ngemong. Ngemong yang diterjemahkan dari bahasa Jawa adalah proses merawat dan menjaga. Guru diharapkan mampu secara terus menerus menjadi pemberi dan model welas asih—seperti merawat tanaman yang disirami dan dipupuk—peserta didik akan terus disirami oleh ketulusan dan welas asih secara terus menerus. Dengan begitu, diharapkan peserta didik terbentuk nurani kemanusiaannya. Dan kita tak perlu lai mengkhawatirkan perkembangan teknologi digital di dunia pendidikan.

Setalah memaknai dasar pemikiran Ki Hajar Dewantara ini, saya menyadari satu hal bahwa punishment (hukuman) pada peserta didik yang tidak menggambarkan welas asih seorang guru pada peserta didik—malah memberi efek buruk di masa kini—alam bawah sadar peserta didik akan mengakui bahwa teknologi lebih bisa menerimanya daripada Gurunya. 

Dengan begitu, saya perlu mempertimbangkan hal lain sedari pada memberikan punishment ketika peserta didik melakukan kesalahan/ tindakan yang kurang tepat. Pembelajaran topik ini menyadarkan saya bahwa ketika peserta didik melakukan kesalahan bisa jadi bukan karena memang berniat melakukan kesalahan, tetapi belum tahu bahwa tindakan yang ia lakukan adalah kesalahan. Dan masih banyak opsi tindakan lain untuk merespon tindakan kurang tepat seorang peserta didik; seperti menasehati secara personal, memberikan pengertian dampak dari tindakan negatif tersebut, atau memberikan nasihat secara umum kepada peserta didik agar tidak mempermalukan peserta didik yang telah melakukan kesalahan tersebut. 

Bagi, saya cara termudah untuk menghentikan kebiasaan seorang guru memberikan hukuman adalah dengan bercermin. Dengan bercermin pada diri sendiri sebelum memberikan tindakan pada seorang peserta didik; saya mampu memposisikan diri saya jika saya ada di posisi peserta didik tersebut. Tentunya ketika saya berbuat kesalahan saya tidak mau diberikan hukuman, tapi lebih memilih untuk diberi respon penuh welas asih; seperti dinasehati dengan penuh pengertian.

*Firdausya Lana_PPG Prajabatan UNISMA_Gelombang 1 Tahun 2022



Tidak ada komentar:

Posting Komentar